Achmad Nurul Mubin: LOGARITMA: Bagaimana menentukan pangkat suatu bilangan jika bilangan pokok dan hasil perpangkatannya sudah diketahui, misalnya 2 x =16, berapakah nila...
Thursday 29 November 2012
Sunday 4 November 2012
conto proposal skripsi
PROPOSAL SKRIPSI
A.
Judul
Pengaruh media presentasi Microsoft
power point terhadap prestasi belajar siswa pada siswa Ma kelas X
B.
Latar Belakang Masalah
Matematika
merupakan mata pelajaran yang dipelajari oleh semua siswa, mulai dari jenjang
pendidikan dasar, menengah bahkan juga perguruan tinggi. Sebagai guru yang
mengajarkan matematika, tentunya harus dapat meyakinkan siswa mengapa
matematika dipilih untuk diajarkan di sekolah. Ada beberapa alasan tentang
perlunya belajar matematika di sekolah. Dari bebagai alasan, para ahli
(Russefendi,1991 ; Karso,1992 ; Abdurahman,1996) tentang perlunya sekolah
mengajarkan matematika kepada siswa, dapat disimpulkan bahwa matematika
merupakan sarana yang sangat penting bagi manusia yang berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan symbol-simbol serta
ketajaman penalaran yang dapat membantu memperjelas dan menyelesaikan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diketahui bahwa dalam
tata kehidupan masyarakat saat ini, hampir tidak ada kegiatan yang tanpa
melibatkan kemampuan dan keterampilan matematika.
Secara umum tujuan
pembelajaran matematika di sekolah, selain menumbuhkembangkan kemampuan
pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut, adalah
membantu siswa dalam mengembangkan berbagai cara atau metode yang sesuai dalam
memecahkan masalah yang berhubungan dengan konsep matematika yang ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti bahwa siswa tidak hanya mampu
mendemonstrasikan kecakapan keterampilan tentang konsep-konsep matematika di
kelas, melainkan siswa juga diberi kesempatan untuk menggunakan konsep-konsep
dan keterampilan-keterampilan tersebut dalam dunia nyata, sehingga konsep dan
keterampilan yang dipelajarinya menjadi bermakna.
Berdasarkan
prestasi belajar yang harus dicapai, pada dasarnya terdapat dua dimensi yang
harus dipelajari siswa dalam belajar matematika sebagaimana dikemukakan oleh
Lerner (Abdurahman,1996 : 219), yaitu dimensi kuantitatif dan dimensi
kualitatif. Yang dimaksud dimensi kuantitatif adalah suatu pemahaman tentang
konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan matematika yang meliputi
aspek-aspek aritmatika (baik mengenai bilangan maupun operasinya); dan geometri
(baik bangun datar, bangun ruang maupun pengukurannya) yang diperoleh siswa
melalui pembelajaran. Pada dimensi ini hasil pembelajaran siswa belum mencapai
yang sesungguhnya, karena apa yang dipelajarinya belum dapat difungsikan dalam
kehidupannya.
Adapun dimensi
kualitatif merupakan kemampuan siswa dalam mengaplikasikan konsep dan
keterampilan yang diperolehnya dalam memecahkan persoalan (problem solving)
matematika secara nyata didalam kehidupan mereka, sehingga konsep dan keterampilan
tersebut menjadi fungsional. Dalam dimensi kualitatif, aplikasi konsep dan
keterampilan tersebut temtama berkaitan dengan aspek mang, waktu, dan
pengukuran. Operasionalisasi dari dimensi kualitatif ini diwujudkan dalam
bentuk soal cerita.
Berdasarkan hasil
studi pendahuluan (wawancara dengan salah seorang guru matematika di Sekolah
Menengah Pertama di Kota X, diperoleh data sebagai hasil analisis evaluasi guru
matematika dimana terdapat 50% dari siswa MA kelas X, khususnya MA Kota X belum
mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM yang diharapkan 6,0; sedangkan nilai
yang diperoleh = 5,5); 25% dari mereka mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
soal cerita terutama yang terkait dengan pengukuran bangun ruang; misalnya
membaca gambar menentukan luas permukaan maupun volume limas atau prisma
melalui gambar yang ditemukan. Apabila di Kota X terdapat 6 buah MA Swasta, Ini
berarti kurang lebih ada 240 siswa MA yang mengalami kesulitan dalam
meyelesaikan soal-soal bangun ruang.
Sehubungan dengan
situasi tersebut Nuriana (2007 : 1) dalam penelitiannya tentang pemahaman model
"Creative Problem Solving' dengan media Video Compact Disk dalam
pembelajaran matematika mengemukakan bahwa : "sampai saat ini masih banyak
ditemui kesulitan siswa untuk mempelajari konsep geometri temtama bangun ruang,
khususnya pada siswa kelas X semester 2.
Berdasarkan situasi
tersebut terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Disatu pihak,
materi yang diajarkan sudah sesuai dengan perkembangan siswa, namun di pihak
lain, prestasi yang diperoleh tidak seperti yang diharapkan. Banyak faktor yang
mempengaruhi pencapaian keberhasilan belajar siswa, misalnya faktor
karakteristik materi atau bahan yang diajarkan, strategi pembelajaran dan atau
media pembelajaran yang digunakan guru.
Ditinjau dari
karakteristik materi atau bahan pelajaran, materi bangun ruang pada dasarnya
merupakan materi yang besifat abstrak. Sehubungan dengan ini Fowler (Suyitno,
2000 : 37) mengemukakan bahwa :
"Matematika adalah ilmu yang mempelajari tentang bilangan dan ruang yang bersifat abstrak, sehingga untuk menunjang kelancaran pembelajaran disamping pemilihan metode yang tepat juga perlu digunakan suatu media pembelajaran yang sangat berperan dalam membimbing abstraksi siswa"
"Matematika adalah ilmu yang mempelajari tentang bilangan dan ruang yang bersifat abstrak, sehingga untuk menunjang kelancaran pembelajaran disamping pemilihan metode yang tepat juga perlu digunakan suatu media pembelajaran yang sangat berperan dalam membimbing abstraksi siswa"
Pernyataan di atas
mengimplikasikan bahwa dalam mengajarkan materi bangun ruang dituntut kemampuan
guru untuk dapat mengupayakan media pembelajaran yang dapat membantu siswa
untuk memvisualisasikan konsep tersebut sehingga memudahkan pencapaian
kompetensi dasar dan indikator pembelajaran yang ditentukan.
Banyak alternatif
pilihan media yang dapat digunakan guru sebagai alat bantu dalam
menyelenggarakan pembelajaran yang efektif dan efisien. Salah satunya adalah
media komputer. Menurut Shute & Grandell (1994 : 177) bahwa dari tahun ke
tahun pembelajaran dengan menggunakan komputer semakin meningkat, lebih dari
tiga dekade komputer telah menunjukkan kemajuan yang sangat berarti dalam
peranannya sebagai media pembelajaran. McDonough, et. al. (1989 : 155)
mengemukakan tentang beberapa keuntungan penggunaan komputer dalam pembelajaran
seperti memberikan stimulus untuk belajar, menciptakan efek audio dan visual,
membantu recalling (pemanggilan kembali) konsep, mengaktifkan respon siswa,
mendorong cara belajar interaktif, membebaskan guru dari tugas-tugas yang
berulang dan menyediakan sumber belajar yang telah dimodifikasi.
Banyak jenis
program komputer yang dapat dijadikan media penunjang untuk meningkatkan motivasi,
atensi serta kemampuan (kognitif, afektif, psikomotor siswa) dalam pembelajaran
di sekolah. Salah satu program di antaranya adalah Micrososft (MS) Power Point.
Sebagai media aplikasi, MS Power Point merupakan sebuah program pendekatan
persentasi dengan menggunakan sistem grafik dan gambar dengan cara menampilkan
slide yang disertai penjelasan secara lisan dari topik-topik tertentu. Program
ini biasanya digunakan secara luas dalam bisnis maupun dalam pembelajaran di
sekolah, kampus, serta pelatihan-pelatihan yang dirasakan sangat efektif dan
efisien jika dilakukan di kelas. Selain fungsi-fungsi tersebut program ini juga
dapat dijadikan latihan-latihan bagi penguatan siswa dalam penguasaan materi.
Melalui program MS
Power Point, di samping siswa mendapatkan materi yang mengandung unsur gabungan
dari unsur-unsur audio-visual, program ini juga memberikan pilihan menu-menu
yang dikemas secara menarik dengan adanya gabungan unsur grafis, animasi, dan
sound. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian atau atensi serta motivasi
belajar siswa dalam pembelajaran yang tentunya akan membuat siswa tertantang
untuk mempelajarinya dan dapat memberikan pengalaman yang lebih, karena pada
saat media ini digunakan ada dua indera yang berperan secara bersamaan yaitu indera
penglihatan dan pendengaran. Hal ini dipertegas oleh Arsyad (2003 : 148) yang
mengemukakan bahwa :"Disamping menarik dan memotivasi siswa untuk
mempelajari materi lebih banyak, media audio-visual dapat digunakan untuk : 1)
mengembangkan keterampilan mendengar dan mengevaluasi apa yang telah didengar
maupun apa yang dilihat; 2) mengatur dan mempersiapkan diskusi atau debat
dengan mengungkapkan pendapat-pendapat para ahli yang beda jauh dari lokasi; 3)
menjadikan model yang akan ditiru oleh siswa; 4) menyiapkan variasi yang
menarik dan perubahan-perubahan tingkat kecepatan belajar mengenai suatu pokok
bahasan atau sesuatu masalah".Oleh karena itu dengan menggunakan bantuan
media MS Power Point proses pembelajaran di kelas diharapkan tidak monoton dan
dapat menarik atensi belajar siswa supaya lebih aktif dalam mendalami materi
yang disampaikan sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai secara optimal.
Berdasarkan uraian
di atas, maka muncul permasalahan apakah media MS Power Point dapat berpengaruh
terhadap prestasi belajar matematika siswa kelas X MA khususnya dalam kemampuan
memahami bangun ruang ?. Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu diadakan
penelitian lebih lanjut.
C.
Rumusan Masalah
Penelitian ini
dibatasi pada penggunaan media MS Power Point untuk meningkatkan prestasi siswa
MA dalam belajar matematika khususnya materi bangun ruang. Masalah penelitian
ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : "Apakah
terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa MA kelas X yang menggunakan
pembelajaran melalui media presentasi Microsoft Power Point dengan siswa MA
kelas X yang belajar tanpa menggunakan media persentasi Microsoft Power Point
?" . Untuk lebih jelas, rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1.
Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa MA kelas
X yang menggunakan pembelajaran melalui media presentasi Microsoft Power Point
dengan siswa MA kelas X yang belajar tanpa menggunakan media persentasi
Microsoft Power Point pada aspek pengetahuan tentang bangun ruang ?
2.
Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa MA kelas
X yang menggunakan pembelajaran melalui media presentasi Microsoft Power Point
dengan siswa MA kelas X yang belajar tanpa menggunakan media persentasi
Microsoft Power Point pada aspek pemahaman tentang bangun ruang ?
3.
Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa MA kelas
X yang menggunakan pembelajaran melalui media presentasi Microsoft Power Point
dengan siswa MA kelas X yang belajar tanpa menggunakan media persentasi
Microsoft Power Point pada aspek penerapan tentang bangun ruang ?
D.
Tujuan Penelitian
Secara umum
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan media
Microsoft Power Point terhadap peningkatan prestasi belajar bangun ruang pada
siswa MA. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran yang
obyektif tentang :
1.
Perbedaan prestasi belajar antara siswa MA kelas X yang
menggunakan pembelajaran melalui media Microsoft Power Point dengan siswa MA
kelas X yang menggunakan pembelajaran tanpa media persentasi Microsoft Power
Point pada aspek pengetahuan tentang bangun ruang.
2.
Perbedaan prestasi belajar antara siswa MA kelas X yang
menggunakan pembelajaran melalui media Microsoft Power Point dengan siswa MA
kelas X yang menggunakan pembelajaran tanpa media persentasi Microsoft Power
Point pada aspek pemahaman tentang bangun ruang.
3.
Perbedaan prestasi belajar antara siswa MA kelas X yang
menggunakan pembelajaran melalui media Microsoft Power Point dengan siswa MA
kelas X yang menggunakan pembelajaran tanpa media persentasi Microsoft Power
Point pada aspek penerapan tentang bangun ruang.
E.
Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini dapat memberikan
sumbangan ilmiah dalam memahami teori-teori, khususnya yang terkait dengan
media pembelajaran matematika dan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
bagi guru dalam menentukan pilihan media pembelajaran matematika bagi siswa Sekolah
Menengah Pertama yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan mereka.
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe NHT
Pembelajaran kooperatif
merupakan strategi pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama antar siswa
dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Para siswa dibagi ke dalam
kelompok-kelompok kecil dan diarahkan untuk mempelajari materi pelajaran yang
telah ditentukan. Tujuan dibentuknya kelompok kooperatif adalah untuk
memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam
proses berpikir dan dalam kegiatan-kegiatan belajar. Dalam hal ini sebagian
besar aktifitas pembelajaran berpusat pada siswa, yakni mempelajari materi
pelajaran serta berdiskusi untuk memecahkan masalah
Pembelajaran kooperatif
tipe NHT merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada
struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan
memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik. Tipe ini
dikembangkan oleh Kagen dalam Ibrahim (2000: 28) dengan melibatkan para
siswa dalam menelaah bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek
pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut.
Ibrahim mengemukakan
tiga tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT
yaitu :
1. Hasil belajar akademik stuktural
Bertujuan untuk
meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.
2. Pengakuan adanya keragaman
Bertujuan agar siswa
dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai latar belakang.
3. Pengembangan keterampilan social
Bertujuan untuk
mengembangkan keterampilan sosial siswa.
Keterampilan yang
dimaksud antara lain berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang
lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan
sebagainya.Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT merujuk pada konsep Kagen
dalam Ibrahim (2000: 29), dengan tiga langkah yaitu :
a.
Pembentukan
kelompok;
b.
Diskusi
masalah;
c.
Tukar
jawaban antar kelompok
Langkah-langkah tersebut
kemudian dikembangkan oleh Ibrahim (2000: 29) menjadi enam langkah sebagai
berikut :
Langkah 1. Persiapan
Dalam tahap ini guru
mempersiapkan rancangan pelajaran dengan membuat Skenario Pembelajaran (SP),
Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe
NHT.
Langkah 2. Pembentukan kelompok
Dalam pembentukan
kelompok disesuaikan dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Guru
membagi para siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 3-5 orang
siswa. Guru memberi nomor kepada setiap siswa dalam kelompok dan nama kelompok
yang berbeda. Kelompok yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau dari
latar belakang sosial, ras, suku, jenis kelamin dan kemampuan belajar. Selain
itu, dalam pembentukan kelompok digunakan nilai tes awal (pre-test) sebagai
dasar dalam menentukan masing-masing kelompok.
Langkah 3. Tiap kelompok harus memiliki buku paket atau
buku panduan
Dalam pembentukan
kelompok, tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan agar
memudahkan siswa dalam menyelesaikan LKS atau masalah yang diberikan oleh guru.
Langkah 4. Diskusi masalah
Dalam kerja kelompok,
guru membagikan LKS kepada setiap siswa sebagai bahan yang akan dipelajari.
Dalam kerja kelompok setiap siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan
meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban dari pertanyaan yang telah ada
dalam LKS atau pertanyaan yang telah diberikan oleh guru. Pertanyaan dapat
bervariasi, dari yang bersifat spesifik sampai yang bersifat umum.
Langkah 5. Memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban
Dalam tahap ini, guru
menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama
mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban kepada siswa di kelas.
Langkah 6. Memberi kesimpulan
Guru bersama siswa
menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan yang berhubungan dengan materi
yang disajikan.
Ada
beberapa manfaat pada model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap siswa
yang hasil belajar rendah yang dikemukakan oleh Lundgren dalam Ibrahim
(2000: 18), antara lain adalah :
1.
Rasa
harga diri menjadi lebih tinggi
2.
Memperbaiki
kehadiran
3.
Penerimaan
terhadap individu menjadi lebih besar
4.
Perilaku
mengganggu menjadi lebih kecil
5.
Konflik
antara pribadi berkurang
6.
Pemahaman
yang lebih mendalam
7.
Meningkatkan
kebaikan budi, kepekaan dan toleransi
8.
Hasil
belajar lebih tinggi
model pembelajaran Discovery
info math
Metode Pembelajaran Discovery
Metode pembelajaran discovery (penemuan)
adalah metode mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak
memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui
pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Dalam pembelajarandiscovery (penemuan)
kegiatan atau pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat
menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri.
Dalam menemukan konsep, siswa melakukan pengamatan, menggolongkan, membuat
dugaan, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa
konsep atau prinsip.
Metode discovery diartikan
sebagai prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorang, memanipulasi
objek sebelum sampai pada generalisasi. Sedangkan Bruner menyatakan bahwa
anak harus berperan aktif didalam belajar. Lebih lanjut dinyatakan, aktivitas
itu perlu dilaksanakan melalui suatu cara yang disebut discovery. Discovery yang
dilaksanakan siswa dalam proses belajarnya, diarahkan untuk menemukan suatu
konsep atau prinsip.
Discovery ialah proses mental dimana siswa mampu
mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Proses mental yang dimaksud antara
lain: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan,
menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Dengan teknik ini
siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental sendiri, guru
hanya membimbing dan memberikan intruksi. Dengan demikian pembelajarandiscovery ialah
suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui
tukar pendapat, dengan berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar
anak dapat belajar sendiri.
Metode pembelajaran discovery merupakan
suatu metode pengajaran yang menitikberatkan pada aktifitas siswa dalam
belajar. Dalam proses pembelajaran dengan metode ini, guru hanya bertindak
sebagai pembimbing dan fasilitator yang mengarahkan siswa untuk menemukan
konsep, dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya.
Tiga ciri utama belajar
menemukan yaitu:
1. mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk
menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan;
2. berpusat pada siswa;
3. kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru
dan pengetahuan yang sudah ada.
Blake et al. membahas
tentang filsafat penemuan yang dipublikasikan oleh Whewell. Whewell mengajukan
model penemuan dengan tiga tahap, yaitu: (1) mengklarifikasi; (2) menarik
kesimpulan secara induksi; (3) pembuktian kebenaran (verifikasi).
Langkah-langkah pembelajaran discovery adalah
sebagai berikut:
1. identifikasi kebutuhan siswa;
2. seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip,
pengertian konsep dan generalisasi pengetahuan;
3. seleksi bahan, problema/ tugas-tugas;
4. membantu dan memperjelas tugas/ problema yang
dihadapi siswa serta peranan masing-masing siswa;
5. mempersiapkan kelas dan alat-alat yang
diperlukan;
6. mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang
akan dipecahkan;
7. memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan
penemuan;
8. membantu siswa dengan informasi/ data jika
diperlukan oleh siswa;
9. memimpin analisis sendiri (self analysis)
dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi masalah;
10. merangsang terjadinya interaksi antara siswa
dengan siswa;
11. membantu siswa merumuskan prinsip dan
generalisasi hasil penemuannya.
Salah satu metode belajar
yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang sudah maju adalah
metode discovery. Hal ini disebabkan karena metode ini: (1)
merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif; (2) dengan
menemukan dan menyelidiki sendiri konsep yang dipelajari, maka hasil yang
diperoleh akan tahan lama dalam ingatan dan tidak mudah dilupakan siswa; (3)
pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul
dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain; (4) dengan
menggunakan strategi discovery anak belajar menguasai salah
satu metode ilmiah yang akan dapat dikembangkan sendiri; (5) siswa belajar
berpikir analisis dan mencoba memecahkan problema yang dihadapi sendiri,
kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan nyata.
Beberapa keuntungan
belajar discovery yaitu: (1) pengetahuan bertahan lama dan
mudah diingat; (2) hasil belajar discovery mempunyai efek
transfer yang lebih baik dari pada hasil lainnya; (3) secara menyeluruh
belajar discoverymeningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk
berpikir bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih
keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah
tanpa pertolongan orang lain.
Beberapa keunggulan metode penemuan juga diungkapkan oleh
Suherman, dkk (2001: 179) sebagai berikut:
1. siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia
berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir;
2. siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab
mengalami sendiri proses menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini
lebih lama diingat;
3. menemukan sendiri menimbulkan rasa puas.
Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan penemuan lagi sehingga minat
belajarnya meningkat;
4. siswa yang memperoleh pengetahuan dengan
metode penemuan akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai
konteks;
5. metode ini melatih siswa untuk lebih banyak
belajar sendiri.
Selain memiliki beberapa
keuntungan, metode discovery (penemuan) juga memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya membutuhkan waktu belajar yang lebih lama dibandingkan
dengan belajar menerima. Untuk mengurangi kelemahan tersebut maka diperlukan
bantuan guru. Bantuan guru dapat dimulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan
dan dengan memberikan informasi secara singkat. Pertanyaan dan informasi
tersebut dapat dimuat dalam lembar kerja siswa (LKS) yang telah dipersiapkan
oleh guru sebelum pembelajaran dimulai.
Metode discovery (penemuan)
yang mungkin dilaksanakan pada siswa SMP adalah metode penemuan terbimbing. Hal
ini dikarenakan siswa SMP masih memerlukan bantuan guru sebelum menjadi penemu
murni. Oleh sebab itu metode discovery (penemuan) yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah metode discovery (penemuan)
terbimbing (guided discovery).
DAFTAR PUSTAKA
Suherman, dkk.
(2001). Common TexBook Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung.
model contextual Teaching Learning (CTL)
Model Pembelajaran Contextual
Teaching Learning (CTL)
Pembelajaran
kontekstual adalah terjemahan dari istilah Contextual Teaching
Learning (CTL). Kata contextual berasal
dari katacontex yang berarti “hubungan, konteks, suasana, atau
keadaan”. Dengan demikian contextual diartikan ”yang
berhubungan dengan suasana (konteks). Sehingga Contextual Teaching
Learning (CTL) dapat diartikan sebagi suatu pembelajaran yang berhubungan
dengan suasana tertentu.
Pembelajaran
kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang
menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari
terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang
terjadi disekelilingnya.
Pengajaran
kontekstual sendiri pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat
yang diawali dengan dibentuknya Washington State Consortum for
Contextualoleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Antara tahun 1997 sampai
tahun 2001 sudah diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk
mengembangkan, menguji, serta melihat efektifitas penyelenggaraan pengajaran
matematika secara kontekstual. Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi,
dan 18 sekolah dengan mengikutsertakan 85 orang guru dan profesor serta 75
orang guru yang sudah diberikan pembekalan sebelumnya.
Penyelenggaraan
program ini berhasil dengan sangat baik untuk level perguruan tinggi sehingga
hasilnya direkomendasikan untuk segera disebarluaskan
pelaksanaannya. Untuk tingkat sekolah, pelaksanaan dari program ini
memperlihatkan suatu hasil yang signifikan, yakni meningkatkan ketertarikan
siswa untuk belajar, dan meningkatkan partisipasi aktif siswa secara
keseluruhan.
Pembelajaran
kontekstual berbeda dengan pembelajaran konvensional, Departemen Pendidikan
Nasional (2002:5) mengemukakan perbedaan antara pembelajaran Contextual
Teaching Learning (CTL) dengan pembelajaran konvensional sebagai
berikut:
CTL
|
Konvensional
|
Pemilihan
informasi kebutuhan individu siswa;
|
Pemilihan
informasi ditentukan oleh guru;
|
Cenderung
mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin);
|
Cenderung
terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu;
|
Selalu
mengkaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa;
|
Memberikan
tumpukan informasi kepada siswa sampai pada saatnya diperlukan;
|
Menerapkan
penilaian autentik melalui melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah;
|
Penilaian
hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa ujian/ulang
|
Karakteristik
Pendekatan Contextual Teaching Learning (CTL)
Pembelajaran
kontekstual melibatkan tujuh komponen utama dari pembelajaran produktif
yaitu : konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning),
menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community),
pemodelan (Modelling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang
sebenarnya (Authentic Assessment) (Depdiknas, 2003:5).
1.
Konstruktivisme
(Constructivism)
Setiap individu dapat membuat
struktur kognitif atau mental berdasarkan pengalaman mereka maka
setiap individu dapat membentuk konsep atau ide baru, ini dikatakan sebagai
konstruktivisme (Ateec, 2000). Fungsi guru disini membantu membentuk konsep
tersebut melalui metode penemuan (self-discovery), inquiri dan lain
sebagainya, siswa berpartisipasi secara aktif dalam membentuk ide baru.
Menurut Piaget pendekatan konstruktivisme mengandung
empat kegiatan inti, yaitu :
a.
Mengandung
pengalaman nyata (Experience);
b.
Adanya
interaksi sosial (Social interaction);
c.
Terbentuknya
kepekaan terhadap lingkungan (Sense making);
d.
Lebih
memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge).
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi)
pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit
demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau
kaidah yang siap diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan
itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Berdasarkan pada pernyataan
tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan
menerima pengetahuan (Depdiknas, 2003:6).
Sejalan dengan pemikiran Piaget mengenai kontruksi
pengetahuan dalam otak. Manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya,
seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang
berbeda-beda. Setiap kotak itu akan diisi oleh pengalaman yang dimaknai
berbeda-beda oleh setiap individu. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan
dengan kotak yang sudah berisi pengalaman lama sehingga dapat
dikembangkan. Struktur pengetahuan dalam otak manusia dikembangkan melalui dua
cara yaitu asimilasi dan akomodasi.
2.
Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama
dalam pembelajaran kontekstual. Kegiatan bertanya digunakan oleh guru
untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa sedangkan bagi
siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan
pembelajaran yang berbasis inquiry. Dalam sebuah
pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk :
a.
Menggali
informasi, baik administratif maupun akademis;
b.
Mengecek
pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa;
c.
Membangkitkan
respon kepada siswa;
d.
Mengetahui
sejauh mana keingintahuan siswa;
e.
Memfokuskan
perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru;
f.
Membangkitkan
lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa;
g.
Menyegarkan
kembali pengetahuan siswa.
3.
Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan
bagian inti dari pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan
dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri (Depdiknas, 2003). Menemukan
atau inkuiri dapat diartikan juga sebagai proses pembelajaran didasarkan pada
pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum
proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu :
a.
Merumuskan
masalah ;
b.
Mengajukan
hipotesis;
c.
Mengumpulkan
data;
d.
Menguji
hipotesis berdasarkan data yang ditemukan;
e.
Membuat
kesimpulan.
Melalui proses berpikir yang
sistematis, diharapkan siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan
logis untuk pembentukan kreativitas siswa.
4.
Masyarakat
belajar (Learning Community)
Konsep Learning
Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama
dengan orang lain. Hasil belajar itu diperoleh dari sharing antarsiswa,
antarkelompok, dan antar yang sudah tahu dengan yang belum tahu tentang suatu
materi. Setiap elemen masyarakat dapat juga berperan disini dengan berbagi
pengalaman (Depdiknas, 2003).
5.
Pemodelan (Modeling)
Pemodelan dalam pembelajaran
kontekstual merupakan sebuah keterampilan atau pengetahuan tertentu dan
menggunakan model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan
sesuatu atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuau. Dalam arti guru
memberi model tentang “bagaimana cara belajar”. Dalam pembelajaran kontekstual,
guru bukanlah satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan
siswa.
Menurut Bandura dan Walters,
tingkah laku siswa baru dikuasai atau dipelajari mula-mula dengan mengamati dan
meniru suatu model. Model yang dapat diamati atau ditiru siswa digolongkan
menjadi :
a.
Kehidupan
yang nyata (real life), misalnya orang tua, guru, atau orang lain.;
b.
Simbolik (symbolic),
model yang dipresentasikan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk gambar ;
c.
Representasi
(representation), model yang dipresentasikan dengan menggunakan
alat-alat audiovisual, misalnya televisi dan radio.
6.
Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir
tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang
sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya
sebagai struktur pengetahuan yang baru. Struktur pengetahun yang baru ini
merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi
merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahun yang baru
diterima (Depdiknas, 2003).
Pada kegiatan pembelajaran,
refleksi dilakukan oleh seorang guru pada akhir pembelajaran. Guru menyisakan
waktu sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang realisasinya dapat
berupa :
a.
Pernyataan langsung tentang apa-apa yang
diperoleh pada pembelajaran yang baru saja dilakukan.;
b.
Catatan atau
jurnal di buku siswa;
c.
Kesan dan
saran mengenai pembelajaran yang telah dilakukan.
7.
Penilaian
yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian autentik merupakan
proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan
belajar siswa agar guru dapat memastikan apakah siswa telah mengalami proses
belajar yang benar. Penilaian autentik menekankan pada proses pembelajaran
sehingga data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang
dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.
Karakteristik authentic
assessment menurut Depdiknas (2003) di antaranya: dilaksanakan selama
dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun
sumatif, yang diukur keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat
fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback. Authentic
assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis, karya
siswa, prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes
tulis dan karya tulis.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional.
2003. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Nurhadi. 2003. Pendekatan
Kontekstual. Jakarta : Departemen Pendidikan
Nasional.